HUJAN turun rintik-rintik saat Pak Insan Faisal melangkah pelan ke halaman sekolah. Jas hujan tipis yang dipakainya tak mampu menahan dingin pagi itu. Udara basah menyelimuti pekarangan sekolah tempat ia mengabdi dalam beberapa tahun terakhir. Murid-murid menyapanya dengan senyum dan panggilan hangat: “Assalamu’alaikum, Pak Guru!”
Ia membalas salam mereka dengan anggukan lembut dan senyum yang hangat. Tak banyak yang tahu bahwa lelaki dengan wajah bersahaja itu menyimpan kisah panjang yang penuh luka, perjuangan, dan diam-diam, juga kemenangan.
Dulu, di sebuah sekolah menengah pertama di sudut kota, ada seorang anak laki-laki kurus, berkulit legam, dengan seragam yang selalu tampak lusuh. Ia duduk di bangku belakang, nyaris tak pernah berbicara. Namanya Insan. Ia seperti bayangan di dalam kelas, hadir tapi nyaris tak terlihat. Wali kelasnya bahkan tak hafal namanya.
“Siapa kamu? Oh… yang duduk pojok itu ya?” begitu katanya saat pertama kali berbincang dengannya. Bahkan pada saat pembagian rapor, wali kelas masih mengeja nama Insan dari berkas, seolah itu pertama kalinya ia membacanya.
Padahal, Insan selalu datang tepat waktu, tidak pernah membuat keributan, dan tidak pernah membantah. Tapi ia juga bukan bintang kelas. Nilainya biasa-biasa saja, bahkan cenderung rendah. Ia bukan siapa-siapa di antara anak-anak yang selalu mendapat pujian dan dipanggil ke depan untuk menunjukkan hasil ujiannya. Namun, tak ada yang tahu bahwa setiap pulang sekolah, Insan berlari menuju pasar, menjajakan kue buatan ibunya yang sederhana. Di usia yang masih belasan, ia tahu bahwa sepiring nasi di rumahnya bukan jaminan. Ayahnya sakit-sakitan, ibunya mengasuh tiga adik kecil, dan ia harus menjadi dewasa lebih cepat dari teman-teman sebayanya. Kadang, saat murid lain sibuk les tambahan, Insan sibuk menahan kantuk di warung sembari menunggu pembeli.
Memasuki SMA, hidup Insan tak jauh berubah. Ia tetap menjadi anak yang tak menonjol. Bajunya sering kebesaran, sepatunya usang, dan rambutnya potong seadanya. Di antara remaja-remaja lain yang sedang mencari jati diri dan cinta, Insan tahu diri. Ia bukan tipe yang dilirik.
Pernah sekali, ia menyimpan perasaan pada teman sekelas bernama Ayu. Gadis yang ceria dan cerdas, dan tentu saja hanya melihat Insan seperti angin lalu. Ketika Insan mencoba mengobrol, ia hanya dibalas dengan senyum datar dan obrolan yang cepat diputus.
“Kamu tuh terlalu… serius. Dan… kamu nggak lucu,” katanya sambil terkekeh bersama teman-temannya.
Sejak hari itu, Insan tidak lagi mencoba. Ia memilih menatap dari jauh, menyembunyikan rasa dan menuliskannya diam-diam di halaman belakang buku tulis, tempat ia mencurahkan semua yang tidak bisa ia ucapkan.
Setelah lulus SMA, teman-temannya banyak yang mengambil jurusan bergengsi: teknik, kedokteran, akuntansi. Insan… memilih mendaftar ke fakultas pendidikan.
“Jadi guru? Masih aja zaman sekarang?” celetuk temannya.
“Emang kamu sanggup ya? Jadi guru itu nggak cuma bisa baca buku, San,” ejek yang lain.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.