Insan, yang Dulu Kau Remehkan

Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd

Ia diam saja. Yang mereka tidak tahu, di balik keputusannya menjadi guru, Insan menyimpan luka masa lalu. Ia ingin jadi guru agar tak ada lagi anak yang merasa seperti dirinya dulu, tak dianggap, tak dihargai, dan tak dikenali oleh guru-gurunya sendiri. Namun jalan menuju cita-cita itu tidak mulus. Kuliahnya dijalani sambil bekerja. Kadang menjadi penjaga toko, kadang juga menjadi penulis artikel lepas. Pernah suatu masa, ia harus memilih antara membeli buku kuliah atau mengirim uang untuk ibunya di desa. Dan ia selalu memilih keluarganya. Tak jarang ia datang ke kampus dengan baju yang sama selama tiga hari. Tapi ia tidak pernah absen. Ia duduk di depan kelas, mencatat setiap kata dosen, dan diam-diam menjadi mahasiswa yang paling dicari saat ada tugas kelompok.

Tahun demi tahun berlalu. Setelah lulus dan mengajar sebagai guru honorer selama beberapa tahun di berbagai pelosok, Insan akhirnya diterima sebagai guru tetap di sebuah sekolah negeri. Hari pertama mengajar, ia masuk kelas, berdiri di depan anak-anak, dan sejenak mengingat dirinya dulu yang duduk di pojok, tak dianggap, dan nyaris dilupakan. Tapi kali ini, ia tak akan mengulangi kesalahan guru-gurunya dulu. Ia menghafal nama semua muridnya. Ia memanggil mereka satu per satu saat pertama masuk kelas. Ia tahu siapa yang pendiam, siapa yang suka menggambar diam-diam di buku tulis, siapa yang jarang bawa bekal. Ia memperhatikan mereka semua.

“Bagi saya, tidak ada murid bodoh. Yang ada hanya murid yang belum ditemukan caranya untuk belajar,” katanya dalam rapat guru.

Lama kelamaan, namanya mulai dikenal. Ia sering diminta menjadi narasumber pelatihan guru. Beberapa tulisannya tentang pendidikan dimuat di media. Banyak sekolah swasta menawarinya pindah dengan gaji lebih besar. Tapi ia menolak.

“Saya bukan hanya ingin mengajar. Saya ingin hadir.”

Suatu hari, dalam sebuah seminar pendidikan, seorang perempuan paruh baya menghampirinya.

“Maaf, apakah Anda Pak Insan Faisal?” tanyanya.

Insan mengangguk sopan.

“Saya… Ibu Dewi. Wali kelasmu dulu di SMP.”

Untuk beberapa saat, mereka saling diam.

“Saya malu. Dulu saya bahkan tidak tahu kalau kamu ada di kelas saya. Saya bahkan tak tahu wajahmu. Tapi sekarang, saya sering baca tulisanmu di media. Dan saya bangga… juga menyesal.”

Insan tersenyum. “Bu, saya tidak menyimpan dendam. Justru karena dulu saya tak dianggap, saya tahu betapa pentingnya seorang guru untuk hadir.”

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini