Insan, yang Dulu Kau Remehkan

Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd

Tahun-tahun berlalu. Insan kini menjadi guru panutan di sekolahnya. Beberapa mantan muridnya bahkan sudah menjadi guru juga karena terinspirasi olehnya. Di desa asalnya, ia membangun taman baca. Di sekolah, ia membuat program bimbingan untuk murid-murid yang kesulitan belajar, terutama yang seperti dirinya dulu: pendiam, pekerja keras, tapi sering tak dipahami. Di rumah, ia masih hidup sederhana. Ia belum menikah. Tapi ia tidak sendiri. Di sekelilingnya, ada ratusan murid yang memanggilnya dengan hormat, guru-guru yang mengaguminya, dan masyarakat yang menaruh kepercayaan padanya.

Malam itu, di meja kecil di ruang belajarnya, Insan menulis surat. Bukan untuk dikirim, tapi untuk dirinya yang dulu.

“Untuk Insan kecil yang sering menangis diam-diam, Kamu tidak bodoh. Kamu hanya sedang sibuk bertahan. Kamu tidak cupu. Kamu hanya belum diberi kesempatan untuk bersinar. Suatu hari nanti, semua luka itu akan berubah menjadi pelita. Orang-orang akan melihatmu. Bukan karena kamu ingin diakui, tapi karena kamu benar-benar ada. Teruslah berjalan. Kelak kamu akan menjadi guru. Dan kamu akan menjadi sosok yang sangat dibutuhkan… bahkan oleh mereka yang dulu meremehkanmu.”

Dan di tengah malam yang tenang, usai menuliskan surat untuk dirinya yang dulu, Insan menatap kosong ke langit-langit kamarnya. Hujan masih turun pelan-pelan, seakan ikut menyanyikan lagu kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari hatinya. Dalam benaknya, terukir pesan yang ingin ia sampaikan, bukan hanya kepada dirinya sendiri tapi untuk siapa pun di luar sana yang pernah merasa seperti bayangan: tak terlihat, tak dianggap, dan tak diinginkan.

“Tak apa jika kamu tidak dikenal sekarang. Tak apa jika kamu duduk paling belakang dan tak pernah dipanggil ke depan. Hidup tidak menilai kita dari seberapa keras kita bersinar hari ini, tapi dari seberapa teguh kita berjalan saat tak ada satu pun cahaya menyinari jalan.”

Insan tahu betul, ada banyak anak seperti dirinya dulu yang dinilai bodoh karena diam, yang dikira malas karena lelah bekerja selepas sekolah, yang ditertawakan karena penampilannya tak seperti kebanyakan. Tapi ia juga tahu satu hal yang pasti: tak seorang pun ditakdirkan untuk selamanya kecil, jika ia terus berjalan meski tertatih.

“Jangan biarkan dunia mendikte siapa kamu. Mungkin kamu bukan bintang di kelas, tapi kamu bisa jadi cahaya di kehidupan banyak orang. Asal kamu terus belajar, terus hidup dengan jujur, dan terus percaya bahwa kamu layak tumbuh.”

Karena mereka yang dulu dianggap remeh, sering kali menjadi orang-orang yang paling dicari saat dunia butuh seseorang yang sungguh paham arti perjuangan. Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Insan kembali merapikan kertas-kertasnya. Ia tahu, esok pagi, hujan mungkin masih turun. Tapi ia akan tetap datang ke sekolah dengan senyum yang sama, seperti hari pertama ia berdiri di depan kelas. Ia tahu, masih banyak anak yang perlu diberi harapan seperti dirinya dulu yang hanya butuh satu orang untuk percaya.

*****

(INSAN FAISAL IBRAHIM, S.Pd.; Kp. Pamalayan Desa Pamalayan  Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut, Jawa Barat; IG: @innsanfaisal)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini