Mayat, Hujan dan Jilat-menjilat

Oleh: Surya Gemilang

Aku menelan muntahan dan menggeleng. Anna merangkak mendekat, ranjang berderit, dan ia menjilat bibirku yang tertutup rapat. Muntahan pun terlontar lagi, sampai menyentuh gigi depanku. Mulutku pahit. Dan kepalaku tak bisa mundur: tangan Anna menahan belakang kepalaku, dan ia menyedot bibirku—muntahanku tersedot ke mulutnya—aku mendorongnya keras hingga belakang kepalanya menghantam bantal, dan muntahanku jatuh ke perutnya.

Anna tersenyum gemas. “Hei, tenang!”

Aku merapatkan bibir, mencegah lebih banyak muntahan terjatuh.

Anna bangkit dan kembali menyedot bibirku. Aku menekan kedua sisi pipinya dengan telapak tangan dan mendorong wajahnya menjauh, tapi ia terus bertahan, dan aku terus mendorong sampai kulit wajahnya tertarik dan matanya menyipit, hingga akhirnya wajah Anna mundur sejengkal dari wajahku. Dan perempuan itu tetap gigih: ia menjulurkan lidah untuk menggapai bibirku. Wajahnya jadi tengik sekali. Dan liur menetes dari ujung lidahnya, jatuh ke lututku—semakin banyak muntahan terlontar ke mulutku, dan aku mengayunkan kepala Anna ke samping: ia terjatuh dari kasur, kepalanya membentur nakas, dan … ia tak lagi bergerak.

Turunlah hujan deras ….

***

Aku menuruni anak-anak tangga dengan tungkai selemas lidah. Telapak tanganku jadi dingin dan berdebu karena menyentuh pembatas tangga. Mama meletakkan mangkuk besar beruap di tengah meja makan, dan Kakak meletakkan nasi ke empat piring. Aroma masakan Mama membuatku mual—tapi aku sadar, dalam situasi biasa, harusnya aroma ini membuatku lapar.

“Ajaklah Anna makan siang,” kata Mama.

Aku tak menjawab. Aku bergabung bersama Kakak dan Mama di meja makan, membantu meletakkan sendok-garpu di samping piring, lalu menyeka sendok-garpu dengan tisu, lalu merapikan letak sendok-garpu yang seharusnya sudah cukup rapi. Masakan Mama, lidah sapi lada hitam, membuatku refleks berpaling ke jendela; bunyi ketukan air hujan pada jendela seperti ratusan anak berlari serempak menuruni tangga.

“Kau akan lebih membantu,” kata Kakak, “dengan memanggil Anna kemari.”

Apa yang terjadi pada Anna di kamarku? Apa kini ia hidup kembali, dan akan turun, dan akan memakan lidah kami? Aku harus membisikkan hal ini pada Kakak. Mungkin ia akan menghajar Anna dengan sekop. Atau entahlah ….

Aku harus membisikkan hal ini.

“Anna!” Panggil Mama. “Ayo, makan siang sudah siap!”

“Anna sedang tidak lapar ….” balasku, parau.

Mama tak peduli; ia melempar isyarat pada Kakak agar menjemput Anna ke kamarku, dan dengan malas Kakak menurut. Semakin jauh Kakak menaiki anak-anak tangga, kepalanya seolah tertelan ke lantai dua, dan begitupun lehernya, dan dadanya, hingga ujung kakinya—tubuh Kakak tertelan sepenuhnya, dan Mama hanya sibuk membagikan potongan-potongan lidah sapi ke keempat piring.

Tak lama, terdengar Kakak menjerit.

Aku dan Mama langsung berlari ke atas.

Kami sampai di depan kamarku bersamaan dengan Kakak yang baru keluar. Tatapannya nyalang. Kedua tangannya menutup mulut sendiri. Dari sela-sela jarinya meneteslah darah. (***)


(Surya Gemilang | Lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015),Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), dan Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019)).

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi