“Sudah berapa lama penyakitmu?” Tanyanya lelaki tua.
“Empat tahun. Sampai sekarang masih sakit. Sekali rematik, seumur hidup tetap rematik. Setidaknya itu yang aku yakini.”
“Benar. Kau benar sekali.”
“Baiklah, karena kita satu nasib, niatku untuk mencuri aku batalkan.”
“Terima kasih. Bagaimana kalau malam ini kita ngobrol sambil ngopi.”
Pencuri itu mengangguk. Lelaki tua itu, mengambil dua cangkir dan diisinya dengan kopi dari termos yang memang sudah tersedia.
“Ngomong-ngomong sudah berapa lama menjadi pencuri?”
“Sudah hampir lima tahun.”
“Apakah pernah tertangkap.”
“Belum, belum pernah. Mudah-mudahan jangan sampai tertangkap. Kalau tertangkap saya pilih tertangkap polisi, ketimbang tertangkap oleh masyarakat.”
“Apakah engkau menikmati sebagai pencuri?”
“Ya.., saya menikmati. Sepertinya mencuri itu sudah menjadi panggilan. Paling tidak dalam satu bulan sekali aku pasti mencuri. Apakah malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon.”
“Sampai ada perhitungan waktu kala mencuri?”
“Ya, betul. Aku baca primbon Jawa. Bahkan aku membaca mantra segala.”
“Terus, uang yang kamu peroleh untuk apa?”
“Ya.., untuk keluarga. Apalagi mendekati hari raya, anak-anak pengin baju baru, istri pengin pakai gelang emas dan keperluan lainnya. Oh ya…, 2.5% hasil pencurian yang aku peroleh aku sumbangan ke masjid atau anak yatim.”
“Woow, masih ingat masjid dan anak yatim segala.”
“Seandainya kamu lagi apes, ketangkap masyarakat, pasti dipukuli beramai-ramai. Bisa-bisa kamu tinggal nama saja. Bagaimana dengan anak istrimu? Coba pikirkan pekerjaan lainnya.”
“Iya… sich. Sampai sekarang belum terpikirkan.”
“Kamu sudah tahu ada berapa level pencuri?”
“Setahu saya hanya ada tiga, dan saya termasuk level yang ketiga, pencuri yang belum pernah ketangkap polisi.”
“Wooow hebat.”
“Tapi, menurutku, suatu saat pencuri itu bisa saja tertangkap polisi dan masyarakat. Bukankah ada pepatah yang mengatakan sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali jatuh juga. Betul tidak? Kecuali?”
“Kecuali apa?”
“Kecuali dilakukan oleh pencuri level tujuh, pencuri level tertinggi.”
“Wooow, baru tahu.”
“Boleh saya tahu siapa pencuri level tujuh?”
“Cukup banyak atau malahan sangat banyak pencuri level tujuh. Salah satu di antaranya aku sendiri.”
Pencuri itu menatap laki-laki dihadapannya. Antara percaya dan tidak percaya. Bagaimana mungkin lelaki rapuh dengan usia diatas 70 tahunan mengaku sebagai pencuri level 7. Untuk jalan saja sudah mengalami kesulitan.
“Pasti kamu tidak percaya, bagaimana mungkin lelaki seperti aku bisa menjadi pencuri level tujuh.”
“Kamu tahu siapa yang membangun stadion olahraga terbesar di kota ini? Kamu tahu siapa yang membangun mall terbesar di kota ini? Berapa biayanya?”
Pencuri itu menggelengkan kepalanya.
“Tentu saja yang proyek itu pejabat bisa kepala daerah apakah bupati, wali kota, gubernur atau pejabat lainnya.”
Di tatapnya wajah pencuri sebelum melanjutkan ceritanya.
“Bagaimana memperoleh proyeknya? Berapa banyak fee yang harus diberikan kepada pejabat dan penegak hukum?”
“Saya tidak mungkin tertangkap penegak hukum. Yang penting bagaimana saya harus pandai-pandai membagi proyek kepada para pejabat dan penegak hukum.”
“Maksudnya untuk memperoleh proyek-proyek harus memberikan upeti kepada pejabat pemerintah dan penegak hukum?”
“Ya… memang harus begitu.”
“Jadi para pejabat tersebut pencuri level tujuh?”
“Ya…, begitulah.”
Pencuri itu duduk termangu. Tidak terpikirkan olehnya kalau lelaki yang duduk yang dihadapnya pencuri level tujuh, lelaki tua yang sudah rapuh namun dapat mengendalikan pejabat dan para penegak hukum.
Lelaki itu mengambil semua uang yang ada di laci. Dilihatnya pencuri itu masih duduk terpekur.
“Ambillah.”
“Sekarang pulanglah. Uangku ada di berbagai bank tidak terhitung jumlahnya. Jangan lupa sumbangkan ke masjid atau anak yatim seperti yang engkau janjikan.”
“Bulan depan, jangan sungkan datang lagi, nanti akan saya ajak jalan-jalan melihat property yang saya miliki di berbagai daerah.”
Dia juga baru tahu kalau cukup banyak bupati, wali kota, gubernur dan pejabat pemerintah yang menjadi pencuri level tujuh seperti halnya lelaki tua.
Pencuri itu pulang dengan kepala tertunduk. Ada rasa gundah di hatiku. Pencuri level tiga yang dibanggakan ternyata bukan apa-apa. Dia bertekad untuk menjadi pencuri level tujuh, berguru kepada lelaki tua itu. (*)
BAMBANG WINARTO (Mbang Win) dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor (1974-1978). Bekerja di Kementerian Kehutanan 1979-2010. Memperoleh gelar Magister Manajemen (MM) bidang studi Agribisnis dari Universitas Gajah Mada tahun 1993, dengan predikat lulusan terbaik.
Bambang Winarto aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek.
Disclaimer (Cerpen karangan Bambang Winarto berjudul Pencuri Level Tujuh ini telah dipublikasikan di situs Cerpenmu)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.