Aku senang malam ini berhasil mengajak Gita makan malam di luar. Sengaja aku mengajaknya ke restoran es krim yang belum pernah kami kunjungi agar tidak mengungkit luka akan kenangan bersama Tasya.
“Gita, aku ingin selama kita di restoran ini kita bermain game.”
“Apa itu,” Pandangan matanya kembali ditujukan ke meja menghindari tatapanku.
“Kita keep dulu semua masalah kita, beban kita apapun itu, kita berpura-pura mengulang adegan pertama kali bertemu. Kumohon mau ya,” Gita hanya mengangguk pelan
“Eh, mbaknya penghuni kos baru kan? Kenalkan, saya Rama.” kuulurkan tanganku tanda berkenalan
“Gita” Ucapnya sambil tersenyum tipis menjabat tanganku. Alhamdulillah, hatiku kembali segar seolah disiram es melihat senyumnya.
“Saat kamu memasuki kos, sungguh menarik perhatian. Ada cewek manis tapi juteknya minta ampun. Nah, yang gak bisa kulupa saat kamu keracunan biji jarak. Sumpah absurb banget. Bisa-bisanya biji jarak kok dimakan.”
“Enak, belum pernah nyoba kan?”
“Hahaha,” Tawa kami bersama.
“Taukah kamu kapan aku jatuh cinta lagi padamu?”
“Mmm Enggak.”
“Saat kamu membuatkan kopi, di posko KKN dulu.”
“Hah, kopi dengan perbandingan setengah sendok teh dan dua sendok kopi. Lagian ya kamu makhluk paling gak jelas. Malam-malam main ke posko orang. Untung aja tidak diikuti kuntilanak.”
“Sejak saat itu aku berikrar kamu harus jadi istriku.”
“Demi kopi berarti?”
Kami pun mengenang perjuangan semasa kuliah, perjuangan menjadi sahabat, hingga perjuangan mempertahankan cinta sampai menikah. Betapa berat meminta restu pada mama dan papaku yang tidak menyukai Gita karena berasal dari keluarga sederhana. Namun cinta kami yang kuat mampu meluluhkan hati mama-papa dan membatalkan perjodohanku dengan anak sahabatnya.
Kemudian saat kami bercanda kembali, ada bunyi terompet panjang mengalihkan perhatian kami berdua menuju ruang khusus yang dipenuhi balon. Seorang anak perempuan berdiri di depan kue ulang tahun setinggi badannya dengan angka empat diatasnya. Seorang di antara mereka menarik tali confetti dan meledakkan kejutan di dalamnya. Kertas berkilau dan pita menghujani anak pemilik paras cantik tersebut. Senyumnya sangat mempesona, mengingatkanku kepada Tasya. Semua bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu Happy Birthday.
Gita memalingkan badannya. Matanya mulai berkaca-kaca, tangannya gemetar. Aku mendekat padanya. Kututup kedua telinganya dengan tanganku agar lagu ulang tahun itu tidak terdengar olehnya. Gita memejamkan mata, air matanya tak bisa dibendungnya lagi. Aku merengkuhnya dalam pelukanku. Meskipun berat, dalam hati aku selalu menguatkan diri bahwa kami bisa melaluinya bersama.
Hingga suatu malam. Istriku keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah koper. Matanya sembab membuatku panik. Aku berdiri di hadapannya berusaha menenangkan.
“Mas, aku harus pergi.”
“Gita, kumohon jangan lakukan ini, kamu mau pergi kemana?” ucapku sambil berdiri di pintu menghalanginya.
“Aku ke ibu, mas,”
“Gita, aku merasakan apa yang kamu rasakan, kita bisa menghadapi ini bersama.”
“Maafkan aku, semua salahku, aku yang membunuh Tasya.” Ia menangis kalut.
Aku memeluknya, kami menangis bersama. Namun aku tidak bisa mencegahnya. Bahkan Gita menolak kuantar. Aku mematung di pintu. Tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Kutenggelamkan tubuhku di sofa. Aku memutar kembali memori lama untuk menepis kesedihan ini. Kemudian aku mulai tersenyum mengingat Tasya lahir. Dia menangis begitu keras seolah memperkenalkan diri pada sekelilingnya. Lalu ingatan bagaimana aku dan Gita sibuk ketika Tasya sakit hingga kami tidak bisa tidur semalaman. Bagaimana kami mengisi hari-hari dengan senyum dan tawa.
Kulipat kedua kakiku, kepeluk erat mencari kekuatan. Gita jangan menghukumku seperti ini. Sungguh aku merasa tidak berguna, hatiku sakit tercabik, ada rasa sepi yang ngeri. Aku tergelam dalam sunyi yang kau hadirkan. Tidak ada lagi yang tersisa dalam diri ini. Kecuali raga dengan luka yang meradang. Ajarkan aku bertahan manakala nafasku hilang bersama kepergianmu.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.