Setelah merasa sedikit tenang Weni duduk di kursi kamar dekat tempat tidurnya lalu meneguk segelas air putih yang diambilnya sebelum masuk ke kamar. Suara napas leganya terdengar saat ia selesai minum.
“Haaa! untung tadi ibu Fera tidak melihat aku dengan pak Hanif.” ucap suara lega Weni sambil memegang gelas di tangannya.
Weni semakin gelisah akan perihal yang sedang ia alami.
“Kalau ibu Fera tau bisa gawat ini.” Gumam Weni dalam hati.
Belum pun kegelisahan dan ketakutan Weni hilang terdengar ada suara yang mengetuk pintu kamar Weni.
“Wen? Kamu tidur.” ucap ibu Fera memanggil Weni.
Weni yang sedang ketakutan langsung bangun dan membukukan pintu kamarnya.
“Kok muka kamu pucat, kamu sakit ya.” Tanya ibu Fera saat melihat wajah Weni yang sedang membukukan pintu.
Suasana semakin hening saat ibu Fera menatap keanehan di wajah Weni yang terlihat pucat. Namun Weni berusaha menutupi akan perihal yang sedang ia alami dengan berdalih kalau ia hanya kelelahan.
“Tidak buk, saya baik-baik saja.” ucap Weni tersenyum meyakinkan ibu Fera kalau ia baik-baik saja.
“Ibu mau saya siapkan makan siang sekarang.” Sambung Weni bersemangat.
Kecurigaan sempat melintas di pikiran Fera saat ia melihat wajah pucat Weni karena terburu-buru harus balik ke kantor Fera pun mengabaikannya.
“Saya sudah makan di kantor tadi.” Jawab ibu Fera singkat.
Meeting sore ini membuat Fera tidak bisa menemani ayahnya untuk check up sehingga ia meminta bantuan Weni untuk membawa ayahnya ke klinik. Lagi-lagi Weni harus berhadapan dengan pak Hanif padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak berdekatan lagi dengan pak Hanif. Walau berat Weni terpaksa menuruti permintaan Fera agar ia tidak menaruh curiga kepadanya.
Di sepanjang perjalanan menuju klinik tak sepatah katapun membuncah dari mulut Weni. Ia lebih memilih diam karena tidak mau memberi ruang kepada pak Hanif. Sementara pak Hanif terlihat wajahnya merona bahagia karena bisa bersama dengan Weni dalam satu taksi. Sesekali pak Hanif melirik ke arah Weni pertanda ingin mengajak ia untuk berbicara namun Weni mengabaikannya. Hingga tak terasa taksi berhenti di depan klinik.
“Ayo pak kita turun!” Ucap Weni mengajak pak Hanif turun dari taksi dan berjalan masuk ke klinik.
Setelah selesai melakukan terapi eksposur yang terakhir dokter mengatakan bahwa pak Hanif telah sembuh dari autophobia yang dideritanya. Sudah enam bulan secara rutin pak Hanif melakukan terapi eksposur dengan sabar ditemani oleh Weni. Dokter sempat memuji Weni yang begitu setia menemani pak Hanif untuk terapi setiap minggu. Rona bahagia terpancar dari wajah pak Hanif saat dokter mengatakan Weni adalah tipe wanita yang baik dan setia. Sementara Weni hanya tersenyum saat dokter memujinya.
“Alhamdulillah pak, bapak sudah sembuh.” ucap Weni saat mereka keluar dari ruang terapi.
“Tugas saya menemani bapak untuk terapi sudah selesai.” Sambung Weni sambil berjalan menuju apotek klinik untuk mengambil tebusan obat.
Lirikan aneh dari beberapa orang yang melihat mereka berdua tak ditanggapi serius oleh Weni. Sementara pak Hanif terus memancarkan rona bahagianya ke setiap orang yang melirik mereka.
“Obatnya sudah saya tebus. Sebaiknya kita pulang sekarang pak.” ucap lesu Weni mengajak pak Hanif pulang. Weni yang jalannya melamun hampir saja tertabrak oleh brankar yang didorong oleh dua perawat saat mereka keluar dari klinik. Untungnya pak Hanif cepat menarik tangan Weni sehingga tubuhnya tidak mengenai Brankar dorong tersebut.
“Tadi kamu hampir saja tertabrak brankar pasien.” ucap heroik pak Hanif saat menarik tangan Weni. Weni baru sadar dari lamunannya saat ia mendengar pak Hanif telah menyelamatkannya. Begitu melihat tangannya berada di genggaman pak Hanif, ia langsung melepaskannya.
Dengan muka kusut Weni memasuki kamarnya. Cuaca yang kian memburuk sejak sore tadi kini menyisakan butir-butir gerimis yang kian halus menetes di bumi. Suasana senyap, para penghuni rumah merasa lebih aman berada di balik selimut. Namun, tidak dengan Weni.
Weni yang masih gelisah akan perihalnya dengan pak Hanif belum bisa memejamkan matanya mesti malam sudah larut menyapa. Kejadian tadi siang di klinik masih membekas di matanya.
“Seandainya saja pak Hanif tidak menarik tanganku, pasti tubuhku sudah mengenai brankar dorong itu.” pikir Weni dalam hati sambil melirik jam di kamarnya.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.