“Kamu pasti bertanya, kepada Pak Paidi meninggal secara mendadak padahal semalam kalian sempat mengobrol di masjid dan dia baik-baik saja.”
Aku mengangguk, mengiyakan. Aku yakin sekali kalau orang ini bukan sebangsa dengan dukun yang kelihatan meyakinkan dengan aksi tipu-tipunya, atau dukun yang nyambi jadi seorang kiai agar bisa mengawini banyak wanita muda cantik sebagai gundiknya. Aku tidak bisa menyembunyikan pertanyaan yang sejak tadi menari-nari di dalam kepalaku. Aku yakin kalau orang ini tahu kalau aku akan berbohong. Lagi pula buat apa aku harus berbohong? Bukankah dengan berbohong hanya akan membuatku menjadi tidak baik di hadapan Tuhan? Bukankah Nabi Muhammad disegani oleh lawan-lawannya karena beliau tidak pernah berbohong? Jadi, buat apa aku harus berbohong kalau nabi yang kuteladani tidak pernah berbohong?
“Pak Paidi meninggal karena bunuh diri.”
Telingaku seperti mendengar petir yang menggelegar.
“Bunuh diri?” Keningku mengernyit dan mulutku menganga lebar. Sulit aku percaya dengan apa yang barusan kudengar dari mulut lelaki itu.
Orang dengan senyum menyejukkan itu mengangguk. Tidak sedikit pun aku lihat di wajahnya sebuah kedustaan.
—
“Pak Paidi bunuh diri?” istriku bertanya sambil mengulek sambal di dapur, sesekali ia mencuil sambal buatannya untuk dicicipi. Ia menambahkan garam dan sedikit gula yang ditaburkan di atas ulekan sambal lalu diuleknya lagi.
“Iya,” aku mengangguk sambil menyambar sepatu pantofel yang diletakkan di rak. Kemudian aku duduk di atas kursi rotan dan meletakkan sepatu di lantai.
“Tapi bunuh diri karena apa? Buat apa dia harus menenggak racun serangga kan hanya kematian yang sia-sia? Bukankah selama ini Pak Paidi rajin ke masjid untuk shalat berjamaah? Dia juga rajin mengikuti pengajian tiap malam Jumat, rajin berangkat tahlilan, rajin kenduri, dan rajin beribadah? Kok malah bunuh diri?”
Pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari kepala istriku menyatu dengan pertanyaan-pertanyaan yang berasal dari kepalaku sehingga membentuk ribuan tawon yang beterbangan di langit-langit dapur. Aku sama sekali tidak tahu apa yang menyebabkan Pak Paidi harus bunuh diri dengan cara menenggak racun serangga.
“Ketimbang aku harus mikirin penyebab kematian Pak Paidi mending aku menemui salah seorang temanku untuk menanyakan lowongan pekerjaan.” Aku mengoleskan semir ke sepatu pantofelku yang telah lama menganggur sejak pandemi menonaktifkan kegiatanku dalam seminar dan bedah buku. Dan sejak itu aku hanya mengandalkan royalti dari penjualan buku secara digital. Tapi semakin lama warga Indonesia mulai malas membaca.
“Teman siapa?” istriku bertanya dengan intonasi curiga.
“Amel.”
“Perempuan?”
“Memangnya kepala sekolah harus lelaki saja, dan perempuan tidak boleh?”
“Tidak lama kan?”
“Masa nanya lowongan pekerjaan sebentar kayak orang kencing? Kadang orang kencing saja lamanya minta ampun karena sambil teleponan di dalam toilet.”
“Ya sudah. Tapi awas, jangan macam-macam,” istriku mengancam.
Aku langsung keluar rumah dan menyambar sepeda motorku.
Ketika seseorang tidak memiliki uang maka orang itu akan kelihatan sangat putus asa. Apalagi kalau orang itu sudah memiliki keluarga. Kepala mereka akan terasa pening seperti gasing. Karena jika mereka tidak memiliki uang darimana dia bisa menafkahi keluarganya, anak dan istrinya. Begitu pun denganku. Meski aku, menurut orang lain memiliki pekerjaan yang mapan sebagai seorang penulis buku, tapi penjualan buku bergantung pada daya beli masyarakat. Terkadang aku sendiri tidak tahu buku seperti apa yang diinginkan oleh pembaca. Belum lagi aku harus menghadapi persaingan yang sangat ketat dalam dunia sastra. Semua orang ingin menjadi penulis karena menggiurkan. Sebagai seorang kepala rumah tangga aku tidak ingin berdiam diri di rumah dengan menunggu sebuah tawaran yang tidak pasti. Aku bulatkan tekad untuk menemui temanku yang kini telah menjadi kepala sekolah. Namun aku menemuinya bukan karena mau ngutang melainkan untuk menanyakan lowongan pekerjaan.
Terkadang kita membutuhkan teman ketika ketika kita sedang dilanda kesusahan. Kita akan mengakui teman ketika kita sedang terhimpit kebutuhan. Kita akan mendekat kepada teman ketika kita sedang menghadapi kemalangan. Tapi kita akan melupakan teman ketika kita sudah berada di puncak kejayaan. Bahkan untuk menyapa pun kita enggan. Dekati dan anggaplah teman dalam kondisi apa pun.
Dan aku pun sangat yakin kalau Pak Paidi nekat bunuh diri dengan menenggak racun serangga karena selama ini dia menganggur. Pekerjaan di sawah semakin sepi karena perlahan areal persawahan sudah dijual ke developer. Sawah-sawah ditanami rumah dan perkantoran juga sekolah. Istrinya Pak Paidi yang boros itu suka menghabisi uang suaminya padahal Pak Paidi juga harus mengobati penyakit ginjalnya. Belum lagi putrinya harus mendaftar ke SMA. Lelaki itu merasa putus asa. Ia juga merasa bahwa ibadahnya selama ini sia-sia. Doa-doanya hanya menghambur-hamburkan sisa hidupnya saja. Tuhan yang diyakininya tidak menggelontorkan rezekinya. Kiai yang mengatakan bahwa Tuhan Maha Pemurah hanya membual sesuai dengan kitab yang mereka baca. Kalau kiai kaya karena selama ini mereka menjual bualan kosong di mimbar-mimbar masjid dan pengajian. Petuah, “Santunilah anak yatim dan beri makan orang-orang miskin,” yang mereka ulang-ulang hanyalah petuah kosong. (*)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.