“Ujang, Neng, tanamlah pohon Damar ini di pinggir bukit itu, agar kemiringan bukit itu kokoh”.
“Tole, bila engkau pergi mengambil ikan, atau engkau menjadi nelayan, ambil lah kira-kira yang ikannya sudah besar, jangan engkau ambil anak-anaknya yang masih kecil-kecil”.
“Uda/ uni, bila engkau menanam padi pasti jadi padi, bila engkau menanam cabe pasti jadi cabe. Jadi tanamlah hal-hal yang bermanfaat, karena suatu hari nanti akan bermanfaat untuk kalian”.
“di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.
“dunrung ruah rare, petan sangkuh benet. pedang bermata dua, sumpitan bermata tombak”.
Ungkapan sebagai ucapan bangga terhadap seseorang yang telah bekerja keras dan layak mendapatkan kesuksesan.
SEPENGGAL peribahasa di atas terkesan seperti nasehat orang tua kepada anak-anaknya. Namun bila ditelisik lebih dalam, pernyataan tersebut lebih bermakna kearifan lokal dimana para orang tua melihat dengan pengalamannya melakukan hal-hal yang sudah diamanatkan para leluhur-leluhur sebelumnya.
Adalah kearifan lokal, sebagai sebuah kekayaan atau khazanah atau treasure yang sering kita jumpai di kehidupan budaya Bangsa Indonesia. Lalu, apakah kearifan lokal ini berdiri sendiri? Tentunya, kearifan lokal, hadir dalam sebuah budaya atau kehidupan yang memberikan pesan moral agar anak cucu menjaga alam serta budaya, adat dan tingkah polah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya tidak lain agar generasi sesudahnya, menjadi generasi yang selalu harmoni dan atau selaras dengan alam semesta.
Kearifan Lokal tidak saja diakui oleh dunia, bahkan dalam status hukum Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 30, menerangkan kearifan lokal (local wisdom) adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, kemudian dilanjutkan poin berikutnya yaitu masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menetukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Dalam kajian ilmu antropologi, local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuannya sendiri (Ayatrohaedi, 1986).
Salah satu cara untuk melindungi kearifan lokal adalah dengan cara melakukan konservasi. Indonesia memiliki berbagai suku dengan kearifan lokal penduduknya masing-masing mempunyai cara tersendiri untuk melindungi alamnya. Kawasan konservasi dilindungi oleh hukum yang disebut pula sebagai kawasan lindung. Pengelolaan atas sumber daya alam selama ini berada dibawah kewenangan pemerintah pusat sebagaimana disebutkan dalam UUD 45 Pasal 33 Ayat (3). Dalam konteks legal makro, bahwa tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.
Indonesia adalah negara yang kaya, negara yang mempunyai ribuan pulau dan suku yang beranekaragam. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki acuan norma-norma yang bersumber dari kebudayaan masing-masing, yang dikenal dengan kearifan budaya lokal (local genius) atau sering disebut kebijakan lokal (local wisdom).
Orang Jawa memiliki falsafah “guyup rukun, rukun agawe santosa crah agawe bubrah”. Juga seperti masyarakat Bali memiliki norma sosial “menyama braya”; suku Sasak memiliki konsep “Patuh Patuh Patju”; suku Dayak memiliki konsep “rumah betang”; suku Timor memiliki tradisi “okomama” dan sebagainya (Sulaiman, 2015).
Kearifan lokal mengacu pada pengetahuan yang berasal dari pengalaman masyarakat dan akumulasi pengetahuan lokal. Kearifan lokal ditemukan di masyarakat, dan individu. Kearifan lokal sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman orang-orang yang diturunkan dari generasi ke generasi, terkadang oleh mereka yang dianggap sebagai “filsuf desa”. Pengetahuan ini digunakan sebagai pedoman untuk kegiatan sehari-hari masyarakat dalam hubungannya dengan keluarga mereka, tetangga mereka, dan orang lain di desa dan sekitarnya.
Kearifan lokal biasanya berlaku dalam bentuk gagasan, nilai, dan pandangan lokal yang dicirikan untuk dianjurkan, bijaksana, dan berharga. Oleh karena itu, mereka diperhitungkan membantu orang mengelola sumber daya alam di sekitar tempat mereka. Pengetahuan lokal yang banyak diterapkan oleh masyarakat setempat agar bisa bertahan di daerah tertentu telah terintegrasi dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, dan hal tersebut diekspresikan melalui praktik budaya dan mitos lokal.
Penulis, dalam hal ini mengamati, bahwa fenomena kearifan lokal cenderung terpinggirkan. Padahal bila kita kaji lebih mendalam, banyak ilmu dan manfaat yang dapat diteladani oleh kita sekarang. Oleh karena itu, Penulis mencoba akan mengkaji bagaimana kearifan lokal dari Peran Perempuan di Suku Dayak, dan bagaimana pula implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) yang dapat kita teladani sebagai nilai-nilai kearifan lokal.
Dunia, dalam hal ini traktat human ecology, secara teori dan aplikasi mengakui local wisdom (kearifan Lokal) sebagai bagian entitas dalam penyelamatan alam, adat istiadat dan budaya.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.