Kantamedia.comKantamedia.comKantamedia.com
  • HOME
  • KABAR DAERAH
    • Barito Selatan
      • Pemkab Barsel
    • Barito Timur
    • Barito Utara
    • Gunung Mas
    • Kapuas
    • Katingan
    • Kotawaringin Barat
    • Kotawaringin Timur
    • Lamandau
    • Murung Raya
    • Palangka Raya
    • Pulang Pisau
    • Seruyan
    • Sukamara
    • DPRD Kalteng
  • NASIONAL
  • NUSANTARA
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Sumatera
    • Sulawesi
  • POLITIK
  • PERISTIWA
  • OLAHRAGA
  • VIDEO
  • LAINNYA
    • Ekobis
    • Internasional
    • Kuliner
    • Lifestyle
    • Opini
    • Sastra
    • Hikmah
  • INDEX
Reading: Sopan Santun dan Bajingan Tolol
Share
Kantamedia.comKantamedia.com
  • HOME
  • KABAR DAERAH
  • NASIONAL
  • NUSANTARA
  • POLITIK
  • PERISTIWA
  • OLAHRAGA
  • VIDEO
  • LAINNYA
  • INDEX
Search
  • HOME
  • KABAR DAERAH
    • Barito Selatan
    • Barito Timur
    • Barito Utara
    • Gunung Mas
    • Kapuas
    • Katingan
    • Kotawaringin Barat
    • Kotawaringin Timur
    • Lamandau
    • Murung Raya
    • Palangka Raya
    • Pulang Pisau
    • Seruyan
    • Sukamara
    • DPRD Kalteng
  • NASIONAL
  • NUSANTARA
    • Jawa
    • Kalimantan
    • Sumatera
    • Sulawesi
  • POLITIK
  • PERISTIWA
  • OLAHRAGA
  • VIDEO
  • LAINNYA
    • Ekobis
    • Internasional
    • Kuliner
    • Lifestyle
    • Opini
    • Sastra
    • Hikmah
  • INDEX
Follow US
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
@ 2023 Copyright Kantamedia.com. Allright Reserved
Kantamedia.com > Opini > Sopan Santun dan Bajingan Tolol

Sopan Santun dan Bajingan Tolol

Oleh: Chappy Hakim
Senin, 14 Agustus 2023
Share
Chappy Hakim
Chappy Hakim
SHARE

PADA tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia dikenal luas penggunaan kata Bung untuk panggilan seseorang terutama dikalangan para pejuang kemerdekaan. Itu adalah sebuah terobosan yang dilakukan para pejurang kemerdekaan dalam menembus kebiasaan dikalangan Masyarakat feodal dalam memanggil seseorang, terutama kepada mereka yang lebih tua.

Maka Presiden Soekarno dan para pejabat tinggi negara lebih dikenal dengan panggilan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan para pejuang kemerdekaan lainnya. Beberapa waktu selanjutnya dilakukan pula perubahan dalam menyebut pejabat tinggi negara yang ketika itu dikenal menggunakan istilah Paduka Yang Mulia atau Yang Mullia menjadi cukup dengan sebutan Yang Terhormat.

Sekolah sd ketika itu masih Bernama Sekolah Rakyat atau SR yang dalam salah satu kurikulum pelajaran memberikan bekal kepada anak muridnya dengan mata pelajaran budi pekerti. Dalam Pelajaran bahasa indonesia para guru SR ketika itu jelas mengajarkan bahwa kata Tolol, lebih-lebih Bajingan, masuk dalam kata yang tidak pantas digunakan dalam pergaulan sehari hari di sekolah. Sekolah Rakyat di Jakarta, bahkan para guru melarang para anak muridnya menggunakan kata lo gue dalam pergaulan sehari hari di sekolah.

Baca juga:  Fenomena Kekerasan Pelajar: Ketika Pendidikan Adab Dinomorduakan

Itulah salah satu dari perkembangan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada era di awal kemerdekaan dalam berhadapan dengan masyarakat yang feodalistis dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pola pendidikan sopan santun di sekolah.

Dalam perkembangannya kemudian, terutama setelah era reformasi terasa penerapan sistem demokrasi yang menjanjikan kebebasan terutama dalam berekspresi menjadi lebih luas. Sayangnya adalah kebebasan dalam berdemokrasi tidak jelas batas batasnya, yang menyebabkan banyak pihak mempunyai definisi sendiri sendiri tentang arti kebebasan dalam pemerintahan yang demokratis. Untuk hal ini keluhan muncul dalam bentuk jargon sinis yang terkenal terhadap kebebasan yang dinilai melampaui batas sebagai Sekali Merdeka – Merdeka Sekali.

Demikianlah, maka belakangan ini muncul topik panas dalam polemik yang beredar di berbagai media masa tentang cacian kasar yang menggunakan istilah Bajingan Tolol. Sebenarnya bila diamati maka terlihat jelas sejak reformasi sopan santun dan etika berbicara cenderung menjadi kasar dan respek atau rasa hormat terhadap mereka yang lebih tua sudah berangsur angsur menghilang atas nama kebebasan dalam alam demokrasi.

Baca juga:  Politik Tuna Etika, Pragmatisme Dorong Migrasi Pilihan Politik Politisi

Itu tadi perkembangan yang memunculkan jargon Sekali Merdeka – Merdeka Sekali. Topik yang muncul kepermukaan adalah penggunaan kata-kata Bajingan Tolol yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia. Wajar sekali kemudian terjadi kegaduhan yang luar biasa muncul pada berbagai forum dan media. Dalam hal ini, sebenarnya jelas sekali kata Bajingan Tolol sangat tidak pantas digunakan dalam ruang publik, terlebih ditujukan kepada Presiden, Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan yang selayaknya harus dihormati olah warga negaranya. Jelas sekali disini terlihat bahwa rasa hormat, etika dan sopan santun tidak ada sama sekali dalam konteks tersebut.

Perkembangan selanjutnya, seperti biasa maka muncul respon reaksi pihak tertentu untuk membela diri dengan berbagai alasan. Mulai dari mengatakan bahwa kata bajingan tolol bukanlah kata yang ditujukan kepada Presiden sebagai pribadi akan tetapi Presiden sebagai jabatan publik. Ada lagi muncul pendapat yang mengarahkan bahwa kata bajingan adalah kata yang baik sebagai profesi tertentu di sebuah daerah dan lain sebagainya.

Baca juga:  Merayakan Penjajahan

Bahkan bagi yang sulit untuk mencari alasan memperhalus bahkan terus terang mengatakan bahwa bila menjadi pejabat publik harus siap di caci maki dengan kata kata kasar, tidak sopan dan bahkan kurang ajar. Selanjutnya dikatakan pula bahwa bila tidak suka dimaki ya jangan jadi pejabat publik. Ada pula pernyataan sangat menggelikan yang berpendapat bahwa mengkritk memang harus dengan kata kata kasar dan makian yang penuh kebencian dan tidak perlu sopan santun. Bahkan disebut bahwa dalam mengkritik tidak bisa dilakukan dengan etika dan sopan santun. Banyak lagi alasan alasan yang diutarakan yang pada intinya memaksa bahwa penggunaan kata kata Bajingan Tolol yang ditujukan kepada Presiden adalah sebagai hal yang wajar dan biasa biasa saja.

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

12Next Page
TAGGED: Opini
Editor 01 Senin, 14 Agustus 2023 Senin, 14 Agustus 2023
Share This Article
Facebook Twitter Flipboard Whatsapp Whatsapp Telegram Copy Link
Dapatkan berita terupdate KANTAMEDIA di:

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube video

POPULER PEKAN INI

Ilustrasi Anggota Kpu

Akhirnya Ditetapkan, Ini Daftar Anggota KPU 7 Kabupaten di Kalteng

sidang ben brahim

Mantan Kadisdik Kapuas Sebut Ben Brahim Minta Fee 10 Persen Setiap Proyek Fisik

Seleksi Cpns 2023

Pendaftaran Seleksi CPNS 2023 Diundur, Ini Jadwal Terbaru

Masyarakat Adat

Definisi, Hak dan Contoh Masyarakat Adat di Indonesia

Img 20230919 Wa0007

Dua Periode Jadi Pengurus, Akhirnya Maju Jadi Caleg

banner 300250

Berita Terkait Lainnya

Ilustrasi Baliho Parpol
Opini

Baliho, Partai Politik dan Pendidikan Politik

Jumat, 22 September 2023
Ilustrasi Kekerasan Pelajar
Opini

Fenomena Kekerasan Pelajar: Ketika Pendidikan Adab Dinomorduakan

Minggu, 10 September 2023
Suci Amaliyah
Opini

Perempuan Muda dalam Pusaran Demokrasi

Jumat, 8 September 2023
Rusmawati Damarsari
Opini

Nilai-Nilai Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender

Minggu, 27 Agustus 2023
Kantamedia.comKantamedia.com
Follow US
© 2023 Kantamedia.com - All Rights Reserved
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
Selamat Datang

Sign in to your account

Lost your password?