Kenyataannya, tanah kuburan massal itu sama saja, dan akan selalu sama tiap kali aku dan beberapa teman pergi bermain ke kawasan itu. Kami tak terlalu sering ke sana, karena orang-orang dewasa melarang kami. Mereka tak ingin segala sesuatu soal malam berdarah harus menyeret mereka sekali lagi ke masa-masa yang tak menyenangkan.
“Biar itu berlalu dan tak perlu diungkit kembali,” kata kebanyakan dari mereka.
Aku dengar sendiri, para pasukan dari Raja lama di masa kelam memang sungguh biadab. Barang siapa yang dianggap punya kaitan dengan orang-orang yang harus mati karena melawan Raja, akan mendapat kesialan.
Cara paling umum adalah hilang secara tiba-tiba seperti pamanku, yang kemungkinan besar sudah pasti dihukum mati karena tak ada lagi yang bisa dipikirkan selain itu, mengingat belum lama itu orang-orang desa yang bahkan tak melek politik pun juga ditebas tanpa ampun.
Cara yang kadang-kadang terjadi: orang-orang itu mati begitu mendadak dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Pembunuh berdarah dingin itu, yang bekerja diam-diam itu, tentu saja, terdiri dari para pasukan Raja lama sendiri. Konon, unsur kemanusiaan mereka lenyap karena Raja yang ketika itu berkuasa mengajak iblis sebagai sekutu.
Untuk memberi makan para iblis, ada harga yang harus dibayar, demikian yang dulu sempat kudengar. Harga yang sepadan dengan kuasa dan kekuatan tanpa batas.
Sayangnya, ucapan legendaris itu, yang dulu menjadikan kami berpikir bahwa Raja lama adalah sejenis makhluk yang abadi dan tak mati bahkan di hari kiamat, tak terbukti berpuluh tahun setelah kejadian malam berdarah. Orang-orang turun ke jalan dan tidak ada seorang pun yang takut demi tujuan menggulingkan kediktatoran raja tersebut.
Tentu saja terjadi keributan dan perang saudara. Banyak yang gugur pada peristiwa tersebut, tetapi Raja lama kabur dan membiarkan singgasananya kosong tanpa penghuni. Pada akhirnya, rakyatlah yang mengisi bangku-bangku pemerintahan di istana. Mereka menata hidup sekali lagi, meski menyadari anak-cucu dan para sahabat, serta antek Raja lama tak akan tinggal diam demi membungkam semua orang agar raja dan rekan-rekan tak diadili karena kejahatan di masa lalunya.
Tentu saja, aku termasuk di antara sedikit orang yang berjuang demi keadilan yang sia-sia itu. Pada kenyataannya, meski Raja lama telah mati di kemudian hari, tidak ada yang pernah menegakkan keadilan.
Suatu ketika, melalui perkenalanku dengan pebisnis Ali Mugeni, aku mendapatkan akses ke ruang rahasia mantan petinggi di istana pada masa kelam raja lama. Foto-foto itu kudapat persis setelah si penyimpan berkata, “Tak lama lagi aku mati karena usia. Tak lama lagi aku menderita oleh siksa Tuhan atas perbuatan kami yang keji pada kalian selama berpuluh tahun. Bawa foto ini. Kuharap dengan begini Tuhan akan memberiku sedikit keringanan.”
Tak diragukan lagi, pembicaraan singkat dari orang-orang seperti pamanku terbukti benar. Dalam foto-foto itu, terpampang jelas siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu; malam berdarah yang melahirkan banyak dongeng dan mitos di kepala anak-anak yang dibesarkan pada masa itu.
Dengan disebarkannya foto-foto itu, kukira, tak akan lagi ada sisa-sisa Raja lama di lembah kami yang indah, sebab, meski telah dicabut nyawanya, ia seakan masih hidup saja melalui tangan semua anak-cucu dan para sahabatnya di negeri ini. Sebagian orang dalam foto termasuk mereka masih hidup dan menjadi orang berpengaruh sampai saat ini. Kupikir, mereka akan membawaku ke dalam bahaya.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.