Pernah Duan mengingatkan bahwa tak baik terlalu sering minum sopi. Mungkin kurang pas cara atau waktunya, tetapi memang Duan tak pernah tahu cara yang pas berbicara dengan orang mabuk. Akibatnya, Duan dipukul Niko meninggalkan lebam di mata kanan dan sesak di dada. Sejak saat itu Duan tak pernah mendapatkan lagi kelembutan dari Niko, sementara Niko merasa istrinya terlalu mengatur sehingga perlu mendapat pelajaran.
Di kampung selebar Sifnana, Kecamatan Tanimbar Selatan, kabar seperti ini seperti aroma ikan asin digoreng, cepat menyebar. Luan meradang sebab anak yang dia sayang dihajar orang. Tetapi dia cukup bisa menahan diri dengan berlindung di balik kepercayaan bahwa mungkin itu hanya kesalahpahaman yang wajar belaka sebagai bumbu berumah tangga. Lagi pula, di Kepulauan Tanimbar ini, mana ada suami yang tak pernah memukul istrinya? Mungkin hanya Luan semata.
***
Tengah hari itu matahari sedang bermurah menyiram cahaya. Saking murahnya sampai terasa seperti sedang marah. Panasnya menembus batok kepala. Topi kain tak mampu lagi menahan panas menembus kepala Luan. Berdiri terlalu lama di depan pasar membuatnya seperti diguyur hawa sauna. Kunang-kunang mulai mengerubuti pandangannya. Bulir-bulir peluh tumbuh pelan di wajah, sesekali dia menyeka dengan lengan panjang kausnya.
Mumpung parkiran tidak begitu ramai, Luan memutuskan pulang sejenak ke rumah sekalian makan siang.
“Nitip jaga kendaraan ini. Aku ada perlu sebentar di rumah,” pesan Luan kepada pedagang kelontong di samping pintu masuk pasar yang tak pernah keberatan ketika Luan memberi beban serupa.
Sesampainya di rumah, Luan membuka topi dan baju lalu selonjor di dipan di teras rumah berbantal kaus berisi pakaian bekas sembari menikmati semilir angin dari pohon jambu. Kesejukan menjalari tubuhnya. Dia meninabobokan diri dengan membayangkan menimang cucu dari Duan yang kini hamil tiga bulan.
Perlahan-lahan Luan keluar dari alam sadar dan masuk ke dunia mimpi. Kelelahan bekerja di bawah terik matahari tadi membantunya cepat pulas melewati masa ambang kesadaran. Dia bermimpi menggendong sembari mengayun seorang bocah berpipi apel dan bermata bundar jernih. Pada ayunan kesekian, terdengar suara istrinya: “Pak, bangun. Duan dipukul lagi. Cepat bantu dia.” Luan diam saja karena menganggap itu bagian dari mimpinya. Juga karena terlalu lelah.
“Bangun! Anakmu dipukuli suaminya,” kata Shein sambil mengguncang tubuh Luan dengan agak kasar. Shein menangis khawatir terhadap anaknya. Luan tergeragap mendengar isak istrinya. Ia duduk lalu mengusap matanya yang memerah karena belum jenak tidur. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih.
“Diapain lagi dia?” tanya Luan.
“Dipaksa manjat kelapa di depan rumah.”
“Kurang ajar!”
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.