Sepucuk Kata Untuk Suamiku

Oleh: Muhammad Hafidz Agraprana

Ketika pintu diketuk dan kubuka, datanglah suamiku yang berpakaian sudah lusuh. Malam ini, kusapa dia dengan senyuman yang ramah. Namun suamiku tetap saja memasang raut wajah yang tidak enak dipandang. Semakin hari aku semakin bingung. Ini rumah tangga, benarkah?

Dia langsung menuju meja makan dan melihat bahwa tidak ada makanan apa apa di meja makan. Suamiku kesal dan memintaku untuk membuatkan seporsi nasi goreng. Memang aku sengaja membuat meja makan itu kosong. Kemudian aku langsung membuatkannya nasi goreng. Hingga pukul tiga pagi, suamiku baru selesai makan. Kemudian kami berdua tidur walaupun hanya dua atau tiga jam. Karena suamiku pukul tujuh pagi kembali berangkat. Entah dia pergi ke mana.

Semakin hari aku semakin sadar. Seorang wanita pada umumnya diciptakan untuk membahagiakan seorang suami yang dicintainya. Namun apa kenyataannya? Iya kalau suamiku adalah orang yang jelas, tapi pada kasus ini suamiku bukanlah orang yang jelas. Aku tak tahu pekerjaannya. Aku tak tahu apa yang telah dia lakukan di dunia luar. Ingin sekali aku bertanya padanya, namun seperti yang sudah kukatakan, aku takut.

Ketika pagi ini suamiku berpamitan, suamiku hanya mengatakan sepatah dua patah kata saja seperti, “aku berangkat,” atau, “berangkat dulu, ya,”. Apadaya. Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu. Sehingga tetanggaku merasa aneh dengan rumah tanggaku. Aku tidak mau tetanggaku tahu akan masalah yang sedang aku hadapi dengan suamiku.

Dengan ini, sepuluh bulan dua puluh empat hari persis aku diperlakukan seperti ini oleh suamiku, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus menindaklanjuti masalah ini dengan caraku sendiri. Entah bagaimana caranya, aku harus mengetahui apa yang suamiku lakukan diluar sana. Namun apadaya, aku tidak tahu tentang temannya atau rekannya. Aku masih sayang dengan dia, tetapi karena tingkahnya yang semakin menjadi jadi itulah yang membuat pertimbangan padaku.

Malam pun tiba, tepat pukul 21.00. Itu adalah saat dimana aku, pembantuku, dan anakku sedang berkumpul bersama di ruang keluarga. Paling enak memang ketika suasana seperti ini. Namun terdengar aneh, lantas apa yang aneh? Ya, tanpa suami.

Suasana memang enak. Aku, pembantuku, dan anakku berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi dan menikmati secangkir teh hangat. Sementara anakku ku ada di kasur kecil di ruang keluarga pula. Di sela sela menonton televisi, pembantuku juga sering menanyakan bagaimana keadaan suamiku. Mengapa dia selalu pulang malam. Pembantuku tidak tahu kapan suamiku pulang karena pembantuku pasti sekitar pukul sepuluh malam sudah tidur di kamar belakang. Yang jelas pembantuku tahu bahwa suamiku selalu pulang larut malam.

Tepat. Sepuluh bulan dua puluh lima hari aku menunggu pintu untuk suamiku. Dan sekarang aku serius akan menyelidiki teka teki dalam rumah tangga ini. Aku harus tahu dari fisik suamiku akan apa yang telah dia lakukan di luar sana. Tepat ketika pintu diketuk, aku bukakan pintu. Dan kulihat, suamiku pulang. Bajunya lusuh, tasnya basah karena pada malam itu sedang hujan. Melihat tasnya yang basah, aku berniat untuk mengeringkannya dengan cara menggantungnya di belakang rumah. Karena pada saat itu suamiku langsung membanting tasnya dan menuju meja makan. Seperti biasa.

Ketika ku lewat depan suamiku yang sedang makan di meja makan untuk menuju ke belakang rumah sembari aku membawa tas untuk digantungkan, suamiku dengan sigap bertanya, “Tasku mau dibawa ke mana?” tanyanya. Dengan spontan aku menjawab, “Mau aku keringkan di belakang rumah, tas ini basah,” kataku.

Sampailah aku di belakang rumah yang jaraknya agak jauh dari rumah makan, aku mendengar dalam tas itu ada suara semacam dua cermin yang bersenggolan. Entah apa yang ada di dalam tasnya. Tetapi demi kebaikan, aku harus mengetahui apa isi tas itu. Kemudian aku membukanya, dan. Wah betapa shock nya diriku melihat isi tas itu.

Aku tidak menyangka. Seberapa lama suamiku menyembunyikan semua ini. Sedih dalam hatiku melihatnya. Mengapa selama ini aku bisa tidak tahu. Mengapa aku tidak mencurigainya dari awal dia pulang malam. Apa sebenarnya yang membuat suamiku berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini. Ya Tuhan, aku ingat ketika suamiku membelai rambutku dulu. Aku ingat ketika suamiku mengatakan janji nikah pada saat dinikahkan dengan penghulu. Namun semua itu hanyalah omong kosong.

Hampir saja daku meneteskan air mata. Aku tak mau air mataku menetesi lantai. Aku harus bisa menutupi ini semua dari suamiku. Oh ya, isi tas itu adalah beberapa pil nark*ba dan beberapa botol minuman keras yang sudah habis. Beberapa bungkus rok*k juga tersebar di semua bagian tas. Bau tasnya saja sudah tidak karuan. Dapat dari mana suamiku? Apa yang meracuni pikiran suamiku hingga terjadi seperti ini? Sekarang aku bingung, apa yang harus aku lakukan.

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini