Palangka Raya, kantamedia.com – Penolakan terhadap program transmigrasi kembali menggema dari jantung Pulau Kalimantan. Tokoh pemuda Dayak Kalimantan Tengah, Andri Ojer, menyuarakan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah yang akan membuka kembali program transmigrasi ke wilayah Kalimantan Tengah. Menurutnya, program ini tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat Dayak, tetapi juga menyulut potensi konflik dan kerusakan ekologis yang lebih luas.
Dalam pernyataan sikapnya, Andri menyampaikan tiga alasan utama penolakan transmigrasi. Pertama, transmigrasi dianggap mengancam eksistensi masyarakat adat Dayak karena menggerus ruang hidup yang telah diwariskan secara turun-temurun. “Di Kalimantan tidak ada tanah kosong. Semua tanah punya pemilik, yaitu masyarakat adat Dayak,” tegasnya, Jumat (1/8/2025).
Ia menyoroti bahwa masyarakat Dayak hidup sangat bergantung pada hutan—berladang secara berpindah, mencari makan, dan menjaga kearifan lokal yang lekat dengan alam. Pembukaan lahan besar-besaran untuk permukiman baru dianggap sebagai bentuk penyingkiran sistematis terhadap masyarakat adat.
Kedua, program ini dinilai berpotensi memicu konflik horizontal akibat perebutan lahan dan perbedaan budaya antara pendatang dan warga lokal. Ia mengingatkan kembali konflik berdarah masa lalu di Kalimantan yang dipicu oleh ketidakmampuan pendatang menghormati adat dan budaya Dayak.
“Kami berharap peristiwa seperti yang pernah terjadi di masa lalu, seperti di Sampit, tidak terulang kembali. Gesekan yang muncul di Desa Sumber Makmur, misalnya, menunjukkan bahwa perbedaan budaya perlu dikelola dengan bijak. Hal ini menjadi catatan penting bahwa program transmigrasi memiliki potensi menimbulkan ketegangan sosial jika tidak dilaksanakan dengan pendekatan yang sensitif terhadap kearifan lokal,” ujar Andri.
Ketiga, Andri menyoroti dampak lingkungan yang akan ditimbulkan. Deforestasi dan kerusakan ekosistem menjadi konsekuensi logis dari pembukaan lahan baru. Ia khawatir tanah yang semestinya diwariskan kepada anak cucu masyarakat Dayak justru akan habis dan hilang akibat program transmigrasi.
“Jika seluruh lahan habis digunakan, kami khawatir generasi penerus masyarakat adat tidak lagi memiliki ruang hidup yang layak. Kebijakan yang terlihat terstruktur ini, sayangnya, justru berpotensi menyisakan dampak yang menyulitkan bagi kami,” tambahnya.
Langkah Gerbang Dayak dan Aliansi Dayak Bersatu
Gerakan penolakan transmigrasi tidak hanya disuarakan lewat media. Andri menjelaskan bahwa organisasi masyarakat Gerbang Dayak, bersama sejumlah ormas dan tokoh adat lainnya dalam Aliansi Dayak Bersatu, telah menyampaikan surat resmi kepada Gubernur Kalimantan Tengah, Ketua DPRD, hingga instansi terkait lainnya.
Selain itu, aksi unjuk rasa akan digelar pada 4 Agustus 2025 di depan Kantor Gubernur Kalimantan Tengah. Dalam aksi tersebut, mereka membawa tiga tuntutan utama:
1. Pemerintah membatalkan seluruh rencana program baru transmigrasi di Kalimantan Tengah.
2. Pemerintah harus menghentikan segala bentuk praktik transmigrasi yang merugikan masyarakat adat dan mempercepat pembangunan berbasis keadilan bagi warga lokal.
3. Keterlibatan aktif masyarakat adat dalam seluruh proses pengambilan keputusan terkait penggunaan tanah dan sumber daya alam.
“Kami berharap pemerintah dapat bijak menyikapi aspirasi ini. Namun, apabila program tetap dipaksakan, kami khawatir situasi di Kalimantan Tengah bisa terdampak pada stabilitas sosial,” ujar Andri, sambil menyampaikan bahwa pihaknya siap membawa persoalan ini ke tingkat nasional, termasuk melalui mediasi dengan Presiden, DPR RI, hingga kementerian terkait. (rik)



